Memulai hari dengan mengejar Metro Mini 74 yang gak mau benar-benar berhenti waktu kita naik. Geez...
Tujuan hari ini adalah Monas, Ma Meeeen....
Sepupu gue enggak habis pikir kenapa gue mau nginjakkin kaki ke Monas. Dia bilang, terakhir kali dia ke Monas waktu SD... Hmmm ya, setelah itu dia ralat sih, terakhir kali dia ke Monas untuk melihat Monas waktu SD. Karena sebenarnya terakhir kali dia ke Monas beberapa bulan lalu. Tapi untuk liputan.
Yayaya... Gue bilang aja, gue kan turis. Turis itu ya tujuannya ke tempat-tempat ikonik. Dan tempat ikonik di Jakarta adalah Monas. Dan mall-mallnya sih sebenarnya. Ha. Ha.
Jadi, karena Monas searah dengan kantornya, kita naik bus bareng. Pertama ya Metro Mini 74 tadi, lalu ganti ke Busway Jalur 1.
Naik Busway Jalur 1 itu seperti ngulangin lagi langkah gue hampir 5 tahun lalu di sini. Waktu gue luntang-lantung nyari kerjaan. Seminggu bisa tes kerjaan sampe 3 kali. Mulai dari Bank DKI, Trans Corp,sampai perusahaan tak dikenal pada saat itu yang beberapa bulan lalu jadi terkenal sebab masuk TV karena diduga terkait kasus yang diperiksa KPK. Geeezzz....
Anyway. Jakarta masih aja rame *yaeyalaaahhh* Dan bus-bus itu masih saja penuh. Andai saja jalan-jalan kita tertata rapi, moda transportasi teratur dan terjadwal, banyak alternatif pilihan transportasi umum yang terjangkau, rasa-rasanya Jakarta ini pasti lebih asyik dijalani.
Jangan salah. Jakarta yang sekarang juga asyik dijalani. You know, dengan segala keributannya, umpel-umpelannya, panasnya dan ketidakteraturannya. Itu ikonik. Tapi boleh dong berandai-andai dan melihat visi dalam kepala gue ? Bahwa keributannya itu menjadi keributan yang produktif. Umpel-umpelannya itu menjadi satu baris antrian yang rapi. Tidak perlu takut tidak terangkut, karena toh transportasinya punya daya angkut yang cukup. Panasnya adalah panas negeri tropis yang eksotis, bukan panas dari asap kendaraan yang membuat polusi udara. Dan ketidakteraturannya itu tidak ada lagi. Nah, lebih asyik kan ? Turis-turis seperti gue ini bisa jalan kaki dengan nyaman menyusuri jalan-jalan Jakarta. Tas bisa diselempangkan dengan aman, dan jalan dengan santai, bukannya deg-degan penuh kewaspadaan sambil mencengkeram tas erat-erat asupaya tidak jadi korban kejahatan.
Senang ya ? Hayo, kapan kira-kira hal itu bisa terwujud ? Yang pasti, hal itu harus dimulai dari sekarang, wahai para pemuda! Negeri ini masa depannya ada di tangan kita loh. Kitalah yang 20-30 tahun lagi yang akan memegang itu jabatan-jabatan atas itu. Kalau dari sekarang kamu malas-malasan dan tidak punya visi, mau jadi apa negeri ini ke depannya ? Yang ada ya seperti sekarang. Karena generasi yang sekarang waktu mudanya tidak dipersiapkan jadi pemimpin yang visioner. Kenapa ? Karena terlalu terlena diatur oleh penguasa. Yang penting beras swasembada...
Anyway. Akhirnya gue sampai di Monas. Setelah muter-muter 2 jam di Mall dengan tujuan cari makan. Dan pilihan makan siang gue yang katro ini adalah....
jeng jeng jeng jeng #SFX....
.....
.....KFC.
.....
I know. I know.
Menyedihkan gak sih, jauh-jauh ke Jakarta yang gue makan adalah KFC yang dimana-mana juga ada. Coba pilihannya ketoprak kek, apa kek, gitu yang cuma ada di Jakarta. Iya kan ? Tapi enggak. Setelah muter-muter dari hutan ke ibukota ini yang gue makan adalah KFC. Sungguh pilihan yang parah anehnya! Tapi begitulah. Gue ini tipe orang yang gak terlalu memusingkan banyak hal. Gue datang ke mall. Gue lihat KFC. Gue makan KFC. That simple, People! :D
Trus, karena gue sampe di Monasnya udah jam setengah satu, matahari lagi giat-giatnya mancarin sinar tuh. Untungnya gue bawa payung. Karena gue pake bus umum, artinya gue mesti jalan kaki dari gerbang ke tugunya. Which is.... lama ya, Sodara-sodara. Ada satu kilometer gak sih jarak tu gerbang dengan tugu??? Lain kali kalo ke sini timingnya mesti diperhatikan. Karena antrian naik ke atas tuh ternyata ruaaaaaammeeeeeee. Dan loket sudah ditutup setengah jam sebelum waktu buka berakhir karena ramainya antrean. Kebanyakan sih yang datang turis asing. Cina, Eropa, Jepang. Gitu-gitulah. Dan tidak, turisnya nggak rame-rame banget sampe umpel-umpelan, tapi antriannya liftnya panjang kayak ular naga.
Akhirnya gue cuma ngider-ngider aja di tugu bawahnya. Museum dioramanya menarik. Gue udah lupa materinya saking lamanya gak ke Monas. Ada juga pemutaran suara Soekarno waktu ngebacain teks Proklamasi – yang omong-omong, direkam BUKAN pada waktu teks itu dibacain di tahun 1945 – Tapi udah gak keburu gue ikutin karena Nyak Gue udah nilpun-nilpun senantiasa.
Satu hal yang gue syukuri adalah adanya Mas-Mas pedagang air botolan dingin seharga 2 ribu rupiah di luar gerbang tugu. Sebenernya gue pengen bergaya dramatis dengan mengguyurkan air botolan itu ke kepala gue saking panasnya tu hari. Tapi, karena mengingat tempat (bukan di sinetron) dan waktu (gue udah ditunggu Nyak Gue), ya sudahlah, gue akhirnya cukup puas dengan menegak air botolan itu lewat tenggorokan gue. Gluk. Gluk. Gluk. Nikmaaaaatttt....
*Maafkan kegejean paragraf gue ini -__-!*
Nah, perjalanan balik ke gerbang depan untuk naik bus umum lagi merupakan perjuangan tersendiri. Gue sebenarnya pengen lari untuk mempersingkat waktu. Tapi gue takut dikejar sama Om Om penjaga Monasnya. You know, banyak polisi yang mangkal di Monas. Karena hari itu ada demo di kantor dekat situ. *Gue lupa demonya menuntut apa* Jadi, kalo gue lari, tentunya gue bakal dicurigain dooooong.... Mana ada orang potongan ibu-ibu kayak gue yang bawa tas tangan gembung penuh peralatan tempur (dompet, tisu, tas kosmetik, botol air, tas ponsel, kamera digital) lari-lari siang hari bolong bawa payung dengan alasan olah raga. Iya kan ??? Jadi gue jalan kaki aja cepet-cepet secepat yang gue mampu sebelum ditelpun lagi sama Nyak dan sepupu gue.
Walhasil, keringet ngucur kayak keran bocor aja dari dahi dan punggung gue. Sampe di gerbang depan gue udah basah kuyup. Dan tidak, perjuangan tidak berhenti sampe di situ dooong. Karena gue kan harus jalan lagi sampe ke halte busway. Nggak jauh sih. Cuma ya itu, panas. Gue udah jelalatan liat taksi yang bisa diberentiin. Tapi gak nemu juga sampe gue sampe di halte busnya. Akhirnya gue ikutan ngantri, turun di halte berikut buat ganti jalur, ngantri lagi, dan turun di GOR Soemantri. Dari situ gue naik taksi sekitar 7 menit doang buat masuk ke TPU Menteng Pulo.
Gue sama sepupu Gue dan para Nyokap mo jiarahin kuburan kakek-nenek gue di sini.
Dari situ, kita ke Mall Ambasador. Jiiiahhh... teteeeeuuupppp.
Makan sore, cari-cari baju, Bibi gue terbujuk rayu membeli ikat rambut karena rambutnya ditatain kayak pramugari-pramugari di pesawat itu looooooh, sampe akhirnya ngantri taksi lagi buat balik.
Dari sono, kita balik ke rumah di Bintaro buat packing-packing-packing karena gue dan si Nyak mo ke rumah paman gue di Sawangan.
Setelah menempuh perjalanan ribet selama satu jam lebih gue akhirnya sampe di rumah paman gue,
*secara yang nyetir sepupu gue (adeknya sepupu gue yang tadi pagi), Bibi gue ribuuuuuuuutttt aja sepanjang jalan itu ngatur-ngatur cara dia nyetir : pelan, pelan, pelaaaaaan!!! Awas, depan! Kiri, kiri... Tahan! Angkot, tuh. Jaga jarak! Dan seterusnya selama satu jam tanpa berhenti. Gue dengan Nyak Gue udah pandang-pandangan aja. Ni Bibi gue kapan narik napasnya yak, ngomong mulu ? Badan Nyak Gue udah berguncang-guncang nahan ketawa. Tapi ya sudahlah, pada akhirnya gue menarik napas lega banget waktu tu pagar udah keliatan aja di depan mata *
Di rumah paman gue, gue (dan anak-anaknya dia) tentunya dapat wejangan dooooong. Judulnya “Kapan?”. If you know what I mean. Wejangan macam begini kayaknya juga udah jadi makanan wajib setiap hari raya waktu kita ketemu keluarga besar kita. Kalau gue baca status FB teman-teman gue pas hari raya sih, begitu. T__T.
Di rumah paman gue, gue cuma bertahan dua jam. Waktu anak-anaknya pamit balik ke rumah mereka (anak-anaknya gak tinggal sama dia), gueikutan pamit. Paman gue tampangnya sempet shock, karena gue gak ngingep, tapi dianya langsung coolling down. Ya kan, artinya gue deket dengan sepupu-sepupu gue dong (which is anak-anaknya dia juga). Dan lagian, bukan belagu bukan sombong, tapi gue udah punya list schedule padat yang udah gue atur dari jauh hari. Cieeeeh... :D
Sisa malam itu gue abisin ngobrol dengan sepupu gue. Terakhir kali gue ke sini, gue muntah-muntah karena masuk angin, jadi ngobrol dalam keadaan lemas. Sekarang, gue baik-baik aja. Tapi dalam fase I dont care too much. Jadi gue ngobrol, topiknya tentunya tentang keluarga gue, tapi objek dari obrolan gue itu nggak gue masukin ke hati, karena hey, I dont care too much! Kita ngobrol sampe jam 4 pagi. Itupun gara-gara dia nerima telpon entah dari siapa dan permisi terima telpon, lalu gue rebahin kepala ke bantal kursi lalu sedetik kemudian everything was shut down around me.
Sepupu gue ngebangunin gue buat pindah ke tempat tidurnya dia. Dan enggak, dia nggak cukup gentle untuk “lo tidur di ranjang, gue tidur di kursi”. Tapi dia juga nggak cukup tega untuk “nih gue sediain bantal dan selimut buat lo, lo tidur di kursi”. Kursinya sih lebar dan empuk-empuk aja buat ditidurin sebenarnya dan berada tepat di samping tempat tidurnya. Tapi dia cuma “lo tidur di kanan ya, gue biasanya di kiri”, ngasih bantal, matiin lampu dan narik selimut. Gue balik badan dan terlelap lagi.
Terakhir kali gue ke sini, karena gue sakit, dia ngasih satu tempat tidur itu buat gue. Dianya tidur di kursi. Sekarang, karena gue nggak sakit, ya mesti berbagi. Ha ha.
Sepupu gue, cowok, setahun di atas gue.
Dan gue curiga dia masih mengidap Peter Pan Syndrome*.
*Bukaaaaaaann. Bukan Peter Pan yang grup band yak.... Ini Peter Pan yang temannya Wendy. Yang mengejar bayangannya sampai ke kota London. The second star to the right and straight on till morning. Yang itu loh. Got it ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yang suka kuah capcaynya, silakan mengorder di sini...