Telinga Surti Telinga Keledai

Saya punya teman. Namanya Surti (bukan nama sebenarnya dong ah). Nah, Surti ini orangnya rada-rada bolot. Atau cuek. Tergantung dari sisi mana kamu melihatnya sih.

Jadi, kalau kita bilang, “Surtiiiiii.... ngeprint.” (printernya memang tepat disamping dia. Malah, printernya memang terinduk dari komputer dia), tapi dia tidak jawab, nah, JANGAN BERANI-BERANI NGEPRINT. Sebab, kemungkinan besar kertasnya enggak dia pasang. Ya iya dong, dianya aja nggak ada konfirm balik kan? Paling-paling dia akan bilang “Surti enggak dengar...”

Contoh lain, kalau kita bilang, “Sur, kertasnya mana ?”, dia akan jawab “Beras apa ?”. Nah, saya sih menyarankan kamu merespon begini saja
“..........”
daripada gondok setengah hati, apalagi seringnya kejadiannya akan berulang dalam sehari.

Kalau dipanggil “Surtiiiiii...” dan dia tidak menyahut, saya sarankan ulangi lagi panggilan itu.
Dua atau tiga kali.
Jangan bosan-bosan.
Sedikit demi sedikit naikkan volume suara kamu.

Terakhir, kalau dia masih nggak jawab juga, yaaaa... enggak usah emosi jiwa, timpuk aja pake botol tinta... :D

Maaf, Apakah Negara Kurang Membayar Para Pegawainya ??


Kejadiannya malam ini. Tanggal 1. Yang artinya hati lagi sumpek karena beban kerja memadat, waktu  menyempit DAN kekurangan orang *jiah... curhat*, sehingga saya, demi tercapainya tenggat waktu, kembali ke kantor setelah makan malam.

Saya sedang  menyortir dokumen-dokumen yang berserakan  menumpuk di meja saya, - mulai dari klaim perjalanan sampai dengan pembelian material, dari pembayaran upah sampai sumbangan ke pihak eksternal yang sudah menjadi kewajiban sosial perusahaan *ya, ya* - ketika menemukan satu dokumen  lucu menakjubkan yang membuat saya... terharu.

Isi dokumen berbentuk surat itu begini : 

Nomor      : 01/(tiga-digit-huruf-pertama-nama-Bapak-itu)/2011      
Sifat      : Segera
Lampiran   : 1 (satu) lembar
Perihal    : Permohonan bantuan
                                                 Kota-Bapak-Itu, 16 Nopember 20xx
                                                 K e p a d a
                                           Yth : Bapak Pimpinan PT. [Nama-perusahaan]
                                                   di-
                                                   [Kota-tempat-perusahaan-berkantor]

Bersama surat ini saya sampaikan permohonan Bantuan biaya untuk Transfot *kesalahan pengetikan tidak terletak pada blog ini* [Ibukota Provinsi]-Jakarta (PP) dan Akomodasi/ penginapan di Jakarta dalam rangka menghadiri Pengukuhan Lulusan Program Pascasarjana (S2) Program Bla Bla Bla, pada Wisuda Periode IV Tahap I Universitas Bla Bla Bla Tahun 20xx, sesuai Keputusan Rektor Universitas Bla Bla Bla Nomor : bla bla bla tanggal 27 September 20xx. (Lamp. Terlampir)*sekali lagi, ketidakefisienan bahasa tidak terletak pada blog ini*
Wisuda akan dilaksanakan pada tanggal 29 Nopember 20xx di Kampus Pusat Bla Bla Bla [alamat-lengkap-dengan-kode-pos-tercantum].
Saya beserta istri akan berangkat dari [kota-Bapak-itu] ke [ibukota-provinsi] pada hari Jum’at tanggal 25 Nopember 20xx, dan dari [ibukota-provinsi] ke Jakarta hari Sabtu Siang tanggal 26 Nopember 20xx s/d tgl 4 Desember 20xx.
Sekedar untuk diketahui dan dimaklumi, saya [nama-Bapak itu-diketik-dengan-huruf-besar] koma [gelar-sarjana] Pangkat PEMBINA (yep, diketik dengan HURUF BESAR), Golongan Ruang IV/a NIP. bla bla bla adalah Kepala Bidang Bla Bla Bla pada Dinas Bla Bla Bla Kabupaten Bla Bla Bla.
Sekali lagi saya sangat mengharapkan bantuan dan partisipasi Pihak Bapak untuk dapat membantu saya dalam rangka wisuda dimaksud, dan atas Bantuan yang Bapak berikan saya haturkan terima kasih, semoga Allah SWT/Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan RahmatNya kepada kita semua. Amin. ..... *dengan ENAM titik yang dipisahkan satu spasi*

Hormat saya ;

[Nama-Bapak-itu-diketik-dengan-huruf-besar]koma [gelar-sarjana]titik

[Dilampirkan daftar nama wisudawan beserta IPKnya. IPK Bapak itu 3,38, anyway. Tinggi ya ? Yang mengasumsikan otaknya cukup bagus doooong buat dibawa mikir. Kecuali kalau tugas-tugas itu hasil beli ? *grin*]

Reaksi pertama saya : bengong.
Reaksi kedua : what the.....????*refleks langsung ingin meremas kertasnya berbentuk bola dan melemparkan ke kotak di bawah meja saya, tempat semua sampah seharusnya berkumpul*
Reaksi ketiga : sebal. Banget.

Pepatah memang mengatakan, carilah ilmu sampai ke Negeri Cina. Tapi apa iya, untuk menghadiri wisudanya perlu sampai meminta(-minta) bantuan sampai ke negeri Cina juga ??? Apalagi kalau si peminta(-minta) bantuan itu sebenarnya mampu dan tidak perlu dibantu, mengingat posisinya sebagai Kepala Bidang, *kalau di drama-drama Korea, sebutannya Pejabat Negara tuh* yang pastinya punya tunjangan jabatan dan sebagainya.

Ternyata (oknum) pegawai pemerintah dengan pengemis cuma beda-beda tipis ya. Bedanya cuma selembar kertas. Benar-benar tipis!

Korban bencana, perlu dibantu. Fakir miskin dan anak terlantar, perlu dibantu. Orang-orang kelaparan di Afrika dan beberapa tempat di Indonesia, tentunya, perlu dibantu. Orang sakit dan kecelakaan, perlu dibantu. Pegawai pemerintah Golongan IVa ingin menghadiri wisuda yang dia putuskan sendiri untuk menuntut ilmunya, apakah perlu dibantu biaya Transfot (pulang-pergi!) dan akomodasinya ??? Beserta istri pula! Sepuluh hari pula, untuk menghadiri wisuda yang cuma 3 jam! Bisa sambil jalan-jalan ke Tangkuban Perahu, ya Pak!

Setelah kepala saya lebih dingin, saya menyadari bahwa selain sebal, saya juga miris membaca surat itu. Sungguh!

Wahai Indonesia, negaraku, apakah engkau kurang membayar para pegawaimu,
Sampai mereka harus meminta-minta, dengan menjual nama jabatan ?
Dimana letaknya kemerdekaan,
Kalau ternyata kita masih menghamba, dengan menengadahkan tangan ?

*Maaf, Pak Soekarno, Pak Hatta, mungkin proklamasi di tanggal 17 Agustus, 66 tahun yang lalu itu terlalu cepat untuk kita...

**Ngomong-ngomong, tulisan saya di sini murni dari pemikiran saya sebagai individu, sebagai salah seorang rakyat Indonesia yang setia membayar pajak setiap tahunnya, (yang omong-omong, ternyata sebagiannya dikorupsi Gayus dan dedengkotnya, dan sebagiannya lagi dipakai buat bayarin orang-orang yang pegang jabatan kayak Bapak di atas itu) dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan perusahaan tempat saya menumpang mencari sesuap nasi, apalagi dengan jabatan yang dipercayakan kepada saya saat ini.

***Suratnya nggak saya buang ke tempat sampah. Bener! Saya proses kok ke pihak berwenang (tentunya dalam hal ini bukan polisi). Saya bukan pemegang keputusan, soalnya.

****Setelah berhari-hari lewat, reaksi keempat saya ternyata : tertawa terbahak-bahak membaca surat itu. Kalau dipikir-pikir, paragraf terakhirnya lucu banget kan ? Amin. ..... (dengan enam titik yang dipisahkan satu spasi. .....)