Telinga Surti Telinga Keledai

Saya punya teman. Namanya Surti (bukan nama sebenarnya dong ah). Nah, Surti ini orangnya rada-rada bolot. Atau cuek. Tergantung dari sisi mana kamu melihatnya sih.

Jadi, kalau kita bilang, “Surtiiiiii.... ngeprint.” (printernya memang tepat disamping dia. Malah, printernya memang terinduk dari komputer dia), tapi dia tidak jawab, nah, JANGAN BERANI-BERANI NGEPRINT. Sebab, kemungkinan besar kertasnya enggak dia pasang. Ya iya dong, dianya aja nggak ada konfirm balik kan? Paling-paling dia akan bilang “Surti enggak dengar...”

Contoh lain, kalau kita bilang, “Sur, kertasnya mana ?”, dia akan jawab “Beras apa ?”. Nah, saya sih menyarankan kamu merespon begini saja
“..........”
daripada gondok setengah hati, apalagi seringnya kejadiannya akan berulang dalam sehari.

Kalau dipanggil “Surtiiiiii...” dan dia tidak menyahut, saya sarankan ulangi lagi panggilan itu.
Dua atau tiga kali.
Jangan bosan-bosan.
Sedikit demi sedikit naikkan volume suara kamu.

Terakhir, kalau dia masih nggak jawab juga, yaaaa... enggak usah emosi jiwa, timpuk aja pake botol tinta... :D

Maaf, Apakah Negara Kurang Membayar Para Pegawainya ??


Kejadiannya malam ini. Tanggal 1. Yang artinya hati lagi sumpek karena beban kerja memadat, waktu  menyempit DAN kekurangan orang *jiah... curhat*, sehingga saya, demi tercapainya tenggat waktu, kembali ke kantor setelah makan malam.

Saya sedang  menyortir dokumen-dokumen yang berserakan  menumpuk di meja saya, - mulai dari klaim perjalanan sampai dengan pembelian material, dari pembayaran upah sampai sumbangan ke pihak eksternal yang sudah menjadi kewajiban sosial perusahaan *ya, ya* - ketika menemukan satu dokumen  lucu menakjubkan yang membuat saya... terharu.

Isi dokumen berbentuk surat itu begini : 

Nomor      : 01/(tiga-digit-huruf-pertama-nama-Bapak-itu)/2011      
Sifat      : Segera
Lampiran   : 1 (satu) lembar
Perihal    : Permohonan bantuan
                                                 Kota-Bapak-Itu, 16 Nopember 20xx
                                                 K e p a d a
                                           Yth : Bapak Pimpinan PT. [Nama-perusahaan]
                                                   di-
                                                   [Kota-tempat-perusahaan-berkantor]

Bersama surat ini saya sampaikan permohonan Bantuan biaya untuk Transfot *kesalahan pengetikan tidak terletak pada blog ini* [Ibukota Provinsi]-Jakarta (PP) dan Akomodasi/ penginapan di Jakarta dalam rangka menghadiri Pengukuhan Lulusan Program Pascasarjana (S2) Program Bla Bla Bla, pada Wisuda Periode IV Tahap I Universitas Bla Bla Bla Tahun 20xx, sesuai Keputusan Rektor Universitas Bla Bla Bla Nomor : bla bla bla tanggal 27 September 20xx. (Lamp. Terlampir)*sekali lagi, ketidakefisienan bahasa tidak terletak pada blog ini*
Wisuda akan dilaksanakan pada tanggal 29 Nopember 20xx di Kampus Pusat Bla Bla Bla [alamat-lengkap-dengan-kode-pos-tercantum].
Saya beserta istri akan berangkat dari [kota-Bapak-itu] ke [ibukota-provinsi] pada hari Jum’at tanggal 25 Nopember 20xx, dan dari [ibukota-provinsi] ke Jakarta hari Sabtu Siang tanggal 26 Nopember 20xx s/d tgl 4 Desember 20xx.
Sekedar untuk diketahui dan dimaklumi, saya [nama-Bapak itu-diketik-dengan-huruf-besar] koma [gelar-sarjana] Pangkat PEMBINA (yep, diketik dengan HURUF BESAR), Golongan Ruang IV/a NIP. bla bla bla adalah Kepala Bidang Bla Bla Bla pada Dinas Bla Bla Bla Kabupaten Bla Bla Bla.
Sekali lagi saya sangat mengharapkan bantuan dan partisipasi Pihak Bapak untuk dapat membantu saya dalam rangka wisuda dimaksud, dan atas Bantuan yang Bapak berikan saya haturkan terima kasih, semoga Allah SWT/Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan RahmatNya kepada kita semua. Amin. ..... *dengan ENAM titik yang dipisahkan satu spasi*

Hormat saya ;

[Nama-Bapak-itu-diketik-dengan-huruf-besar]koma [gelar-sarjana]titik

[Dilampirkan daftar nama wisudawan beserta IPKnya. IPK Bapak itu 3,38, anyway. Tinggi ya ? Yang mengasumsikan otaknya cukup bagus doooong buat dibawa mikir. Kecuali kalau tugas-tugas itu hasil beli ? *grin*]

Reaksi pertama saya : bengong.
Reaksi kedua : what the.....????*refleks langsung ingin meremas kertasnya berbentuk bola dan melemparkan ke kotak di bawah meja saya, tempat semua sampah seharusnya berkumpul*
Reaksi ketiga : sebal. Banget.

Pepatah memang mengatakan, carilah ilmu sampai ke Negeri Cina. Tapi apa iya, untuk menghadiri wisudanya perlu sampai meminta(-minta) bantuan sampai ke negeri Cina juga ??? Apalagi kalau si peminta(-minta) bantuan itu sebenarnya mampu dan tidak perlu dibantu, mengingat posisinya sebagai Kepala Bidang, *kalau di drama-drama Korea, sebutannya Pejabat Negara tuh* yang pastinya punya tunjangan jabatan dan sebagainya.

Ternyata (oknum) pegawai pemerintah dengan pengemis cuma beda-beda tipis ya. Bedanya cuma selembar kertas. Benar-benar tipis!

Korban bencana, perlu dibantu. Fakir miskin dan anak terlantar, perlu dibantu. Orang-orang kelaparan di Afrika dan beberapa tempat di Indonesia, tentunya, perlu dibantu. Orang sakit dan kecelakaan, perlu dibantu. Pegawai pemerintah Golongan IVa ingin menghadiri wisuda yang dia putuskan sendiri untuk menuntut ilmunya, apakah perlu dibantu biaya Transfot (pulang-pergi!) dan akomodasinya ??? Beserta istri pula! Sepuluh hari pula, untuk menghadiri wisuda yang cuma 3 jam! Bisa sambil jalan-jalan ke Tangkuban Perahu, ya Pak!

Setelah kepala saya lebih dingin, saya menyadari bahwa selain sebal, saya juga miris membaca surat itu. Sungguh!

Wahai Indonesia, negaraku, apakah engkau kurang membayar para pegawaimu,
Sampai mereka harus meminta-minta, dengan menjual nama jabatan ?
Dimana letaknya kemerdekaan,
Kalau ternyata kita masih menghamba, dengan menengadahkan tangan ?

*Maaf, Pak Soekarno, Pak Hatta, mungkin proklamasi di tanggal 17 Agustus, 66 tahun yang lalu itu terlalu cepat untuk kita...

**Ngomong-ngomong, tulisan saya di sini murni dari pemikiran saya sebagai individu, sebagai salah seorang rakyat Indonesia yang setia membayar pajak setiap tahunnya, (yang omong-omong, ternyata sebagiannya dikorupsi Gayus dan dedengkotnya, dan sebagiannya lagi dipakai buat bayarin orang-orang yang pegang jabatan kayak Bapak di atas itu) dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan perusahaan tempat saya menumpang mencari sesuap nasi, apalagi dengan jabatan yang dipercayakan kepada saya saat ini.

***Suratnya nggak saya buang ke tempat sampah. Bener! Saya proses kok ke pihak berwenang (tentunya dalam hal ini bukan polisi). Saya bukan pemegang keputusan, soalnya.

****Setelah berhari-hari lewat, reaksi keempat saya ternyata : tertawa terbahak-bahak membaca surat itu. Kalau dipikir-pikir, paragraf terakhirnya lucu banget kan ? Amin. ..... (dengan enam titik yang dipisahkan satu spasi. .....)

Sepotong Rindu Dalam Egoku


Lirik Denting-nya Melly Goeslaw adalah sangat tepat untuk jadi background music suasana hati saya saat ini :
Sayang, kau dimana ?
Aku ingin bersama.
Aku butuh semu untuk tepiskan rindu
Mungkinkah kau di sana merasa yang sama ?
Seperti dinginku di malam ini L
Rintik gerimis mengundang kekasih di malam ini
Kita menari dalam rindu yang indah
Sepi kurasa hatiku saat ini, oh Sayangku
Jika kau di sini aku tenang.

Iya. Dia akan bilang : Elo sinetron banget sih yak... Dan saya akan menangkis : Gue kan romantis...
Malah  tepatnya, saya dramatis-romantis-melankolis...
Sebut saja begitu. Saya rindu waktu-waktu yang saya habiskan dengannya. Kala itu, jam dinding bukanlah penunjuk waktu. Dia hanya pajangan...

Saya rindu pada debat-debat gak mutu yang saya lancarkan dengannya. Saya rindu pada kejengkelannya kalau sudah mati langkah menghadapi saya. Saat itu, dia akan bilang : Elu gimana siiih?? *jitak dikit (kalau tingkat kejengkelannya level satu) atau *jitak bolak-balik (kalau tingkat kejengkelannya level tujuh) atau *jeweeeeeerrrr (kalau tingkat kejengkelannya level sembilan). Ha ha. Sungguh, saya rindu saat-saat itu.

Iya. Saat ini saya lagi sakaw. Sakaw untuk mengulangi suasana saat saya bersama dia. Sakaw untuk mendengar kalimat-kalimat gejenya. Sakaw untuk kembali ke jam-jam panjang yang lewat diantara tawa, ngambek, jitakan dan rasa sayang yang semakin dalam.

Persis seperti perokok yang ingin berhenti merokok sedang merindukan nikotinnya.

Kata orang, waktu itu menyembuhkan. Saya enggak percaya. Seiring dengan waktu, apa yang kita rasakan sekarang memang memudar. Seolah-olah hilang. Padahal sebenarnya enggak.
Rasa itu hanya pudar. 

Dan kalau beruntung, mudah-mudahan tak berbekas. 

Tapi apakah yang memudarkannya waktu ? Bukan. Sel-sel kitalah yang melakukannya. Kalau luka fisik, ya sel-sel di jaringan tubuh kita yang menyembuhkannya. Kalau luka hati, ya sel-sel kelabu di otak kita yang akan menyimpannya jauh-jauh di dalam tempat yang paling tersembunyi di antara sekian banyak simpul saraf “kenangan”nya. Supaya kita tidak lagi terlalu merasa semasygul* sekarang.

Saya rindu dia saat ini. Sungguh.

Dan saya tahu akan melupakan ini suatu saat nanti.


*Iyeee.... ABG alay sekarang menyebutnya : galau T_T.

Salah, Salah, Salah

Semua orang pernah berbuat salah. Siapa pun. Gak perduli dia orang paling berkuasa, atau pengemis jalanan yang paling terlunta. Semua, semua, semua pernah berbuat kekeliruan dalam hidupnya. Sekali, seratus kali, seribu kali. Bener kan ?
Kadar kesalahan itu tentu besar dan kecil. Impact-nya pun beraneka ragam. Mungkin hanya berakibat ringan, dua menit berlalu. Mungkin berakibat fatal, harus ditanggung seumur hidup. Apapun akibatnya, itu pastinya akan menjadi goresan dalam lembar sejarah hidup kita. Jangan letih dulu, goresan itu memang kita perlukan untuk membentuk kita sebagaimana adanya sekarang.
Katanya, kesalahan itu guru yang paling berharga. Ia mengajarkan kita tentang kerasnya kehidupan. Ia mengajar kita tentang konsekuensi. Ia mengajar kita tentang sebuah kebenaran. Hebat ya ? Tidak hanya kesalahan yang kita buat sendiri loh, kita juga bisa kok belajar dari kesalahan orang lain. Kalau ini kita lakukan, setidaknya kita tidak perlu merasakan sakit dan pahitnya kesalahan itu.
Kesalahan itu juga menghantui. Ia seperti datang dan datang lagi. Mengejekmu yang sudah terjatuh disandungnya. Berkeras mengatakan : tidak, tidak, tidak, kau tidak akan mampu melampuiku. Kau toh sudah jatuh... Pernah merasakan itu di kepalamu ?
Saya dan kamu pernah berbuat salah. Itu manusiawi. Pertanyaannya sekarang, sanggupkah kamu berbalik darinya, untuk di kemudian hari melupakannya ? Tentu saja melupakan itu termasuk tidak melakukannya lagi. Kalau kamu bisa melakukannya, niscaya kamu pasti jadi orang yang jauh, jauh, jauh lebih baik dari kamu yang kemarin.  Setuju ?
Nah, selamat  menjalani hidup, katakan “tidak!” pada rayuan si salah!

Kemana Perginya Waktu

Kemana perginya waktu ?
Duhai, kau yang tak mau tahu
Kemana perginya kisah itu ?
Aku ingin tahu.

Katakan pada sang waktu
Jangan pergi dulu
Aku ingin melulu
Berada dekat denganmu

Duhai, kekasihku,
Tetaplah di sampingku
Jangan pedulikan waktu
Dan bawalah hatiku

Tapi waktu tetaplah waktu
Yang berdetak tanpa malu
Dan ia tak mau tahu
Tentang ini dan itu

Kemana perginya waktu ?
Aku ingin tahu.
Dan kisah tentang kasihku
Akhirnya pun berlalu.

Harry Potter dan Mbak-Mbak Sok Tau


Iya. Saya memang makhluk telat dan jadul. Setelah keluar lebih dari 2 tahun, bahkan filmnya juga udah keluar dua-duanya, saya baru membaca jilid ketujuh Harry Potter .... kemarin T_T.

Jadi  waktu itu saya nggak sengaja ke Mal Pekanbaru. Kenapa saya bilang nggak sengaja ? Ya karena emang beneran nggak sengaja #mulai geje deh kamyuuu... 

Gini. Jadwal free time saya di Sabtu dan Minggu -- waktu saya d i s u r u h ditugasi sama bos saya untuk berangkat ke brohter-company di Riau – salah satunya adalah ke Mal Ciputra buat nonton di 21. (Yeah, di hutan emang nggak ada bioskop, biasanya kita nonton layar tancep, makanya jauh-jauh ke Riau buat masuk 21..... #menebarkan isu. Hee...) Tapi karena satu dan lain hal, kami jadi mampir ke Mal Pekanbaru dulu.
Naaah... di sana tentunya tak lain dan tak bukan tongkrongan wajib ya Gramedia. Setelah muter-muterin raknya, di ujung penantian saya rak dekat kasir, ada tempat dengan tanda
Discount 70%
Di sanalah saya menemukan edisi hardcover Harry Potter yang memanggil-manggil saya dengan iming-iming 260.000IDR coret, jadi hanya tinggal 78.000IDR doang. Okeee... mungkin enggak "doang" ya. Mungkin itu cukup untuk makan sekeluarga sederhana sehari. Atau bisa bayar jatah transport seminggu setengah untuk seorang mbak mbak kantoran, mungkin ? Dan belum lagi saya harus menggotong-gotong tu buku yang setebal 700-an halaman ada kali, dari satu pulau ke pulau yang lain, ke pulau yang lainnya lagi, lantaran tidak ada direct flight. Tapi kan... Tapi kan....

Setelah muterin stand discount itu sekitar sepuluh kali *lebay*, akhirnya saya mengangkat buku itu dan membolak-baliknya *secara harfiah*. Terus terang saja, kali terakhir saya membaca Harry Potter sekitar tahun 2005 (atau 2006 ?), yang saya sendiri harus ingat-ingat lagi itu jilid keberapa ?
*KEENAM, dimana Dumbledorenya mati secara mengejutkan. Yang terus terang saja, sampai halaman terakhir juga saya masih belum yakin Dumbledorenya mati BENERAN #eaaa... curhat*
Berarti yang belum saya baca tinggal jilid tujuh. Nah, INI JILID BERAPA ? Mulut saya komat kamit ngomong sendiri. Yang keenam itu judulnya apa sih ? Eh, bentar. Yang saya baca terakhir itu jilid lima apa jilid enam yaaa?? *Mulai nggak yakin*

Akhirnya, saya nanya ke Mbak kasirnya...
Saya                       : Mbak, ini Harry Poter yang keberapa ya ?
Mbaknya                : Tujuh puluh ribu. (dengan yakin banget)
Saya                       : *bengong*

Ternyata maksud si Mbak harganya jadi 70.000-an IDR. Sok tau nih si Mbak. 
Secara si Mbaknya juga nggak tau itu jilid berapa, dia nanya ke temannya lagi. 
Mbaknya               : Ini jilid berapa ?
Temannya             : Eee... KESEMBILAN!! (dengan yakin juga)
Saya                      : *menatap dengan mata selebar piring kayak Dobby si peri rumah*

Karena ternyata Mbak-Mbak itu pada nggak membantu, akhirnya saya membalik lagi buku itu dan ternyata Sodara-sodara sebangsa setanah air, di sampul belakangnya ada tulisan yang luput dari pengamatan saya :
KAMI MEMPERSEMBAHKAN HARRY POTTER -7
EPISODE TERAKHIR
...
...
...
Ya sudahlah. Mari kita lupakan saja kebodohan saya serta Mbak Kasir dan temannya itu....

Annual Leaves – Day #9 : Itadakimaaaaasu!

*Hari kedua di Jakarta, dan saya masih beradaptasi dong ah, menggunakan lu-gue lu-gue kind of thing*

Besok paginya, gue bangun karena telpon masuk  dari temen gue. Kita janjian di FX. Eh, apa EX yah ? Lupa... T_T

Setelah cipika cipiki sejenak, gue, temen gue dan adek temen gue (yang adalah temen gue juga.. apa sih bahasa gue yah, makin kaco ajah) memutuskan untuk makan di Sushi Tei. Yeeeeey. Secara ya, gue mupeng banget ngeliat status temen-temen gue di FB yang berbau-bau Sushi Tei. Jadi, gue pengen ngalamin sendiri dah sensasi si Sushi Tei ini. Kagak ada di tengah hutan dianya kan. Jadi ya mumpung nemu satu gerainya ya hyuk mari, dicobain. 

Eh ternyata, karena jam makan siang, Sushi Tei nya rame deh. Dan kita ngantri. Gue ngerasa kayak balik ke jaman SD waktu disetrap guru di depan kelas. Kenapa sih, si Sushi Tei ini nggak ngasih waiting area yang dilengkapi kursi ??? Lebih beradab kan, daripada pelanggan disuruh berdiri di pintu masuk restoran ??? Akhirnya, setelah menunggu sampe antrian kelima, nama kami dipanggil. Beneran. Dipanggil. Kayak antrian dokter gitu. Geeezz...

So, gue yang katro dong yah, secara bisa dibilang belum pernah makan sushi, bingung mo mesen makanan apa. Jadi di Sushi Tei di FX itu ada dua model penyediaan makanan. Ini gue juga baru tahu setelah keluar dari sono yah. Secara si Mbak nya nggak ngejelasin dengan bener sih, Mbak... Gimana sih?? *nyalahin orang deh. Heuu..* 

Pertama, elu bisa pesen ke Mbaknya (atau Masnya, tergantung siapa yang ngedatengin elu yah). Yang kayak gini modelnya sushi per porsi gede yang bisa dimakan rame-rame. Elu bakal dikasih buku menu. Di situ nggak cuma sushi, tapi juga ada mie, dessert, sama makanan kecilnya. 

Kedua, elu bisa ambil langsung dari belt conveyor yang mengelilingi area restorannya. Ini porsinya kecil-kecil. Sepiringnya cuma 3-4 potong. Kalau elu cuma datang di bawah 5 orang, mending ngambil yang di beltnya aja. Yang elu makan bisa banyak macam. Sepotong ini sepotong itu. Cuma ya itu, kagak ada harganya. Elu bakal nebak-nebak buah manggis. Harganya sih dibedain dari warna piring. Tapi elu masih nggak tahu, warna apa untuk harga berapa. Giliran bayar aja, mungkin elu langsung mules. Mwahahaha...

Nah, karena informasi yang nggak jelas itu, kami mesan dari buku menu. Kami kira, makanan di beltnya cuma pajangan doang....*ketawa guling guling kalo inget ini... betapa culunnya gue dan teman gue yah...*

Close Up Ramennya
Jadi, karena nungguin gue, ditambah nungguin giliran masuk yang lumayan lama, kita bertiga udah di ambang batas laper banget. So, demi melihat display-display menu di buku menu itu, kita memesan dengan kalap! Bayangkan, masing-masing pesan ramen. Terus, dua porsi sushi. Gue mesen appetizer tofu sama side dishes tamagoyaki. Gue lupa temen gue mesen appetizer sama side dishes apa enggak. Gue masih mesen dua jenis dessert. Dan finally, masing-masing pesan minuman-yang-bukan-teh-jepang. Gila nggak ? Kita cuma bertiga loh. Bertiga. Cewek semua pula.
 
Tamagoyaki-nya
Yang pertama datang, mie ramen. Jeng, jeeeeng... Ternyata porsinya besar banget! Jangan bayangkan kayak porsi mie ayam yang dijual mamang-mamang di gerobak dorong itu ya. Mangkoknya aja segede bagong. Suer! Mungkin kalo lu keisengan ngelempar copet pake tu mangkok, pingsan kali copetnya. Mienya banyaaaaak banget. Tapi ya karena dalam keadaan lapar berat, kita langsung sikat aja tu mie tanpa banyak preambule. Tandas. Mungkin dari waktu saji sampe dengan suapan terakhir cuma sepuluh menit kali. Ck, ck, ck...
  




Tofu dingin denga irisan cumi. Seger!
Nah, abis itu kita langsung kenyang dong ya... Dateng si tamago sama tofunya. Okelah, masih bisa dimakan. Telur sama tahu ini kok yaaa... Eeeh, yang berikutnya dateng sushi berbentuk naga yang mungkin ada kali 12 potong ditambah satu sushi lagi yang kurang lebih lah porsinya. Tweeww... twewwww... Kita mesennya entah niat, entah kalap, jadinya kebanyakaaaaannn.... Tapi bentuk sushinya lucu sih... Dibentuk kayak naga, lengkap dengan tanduknya. Kiyut banget. Rasanya nggak pengen dimakan deh.... Bohong banget. Hahaha. Ya pasti dimakanlah... Saking semangatnya nyomotin tu sushi, gue sampe lupa ngambil fotonya! Dua-duanya!!

The Dessert. Enyyyakkkk!!!
Akhirnya kita tiga jam di Sushi Tei. Dari yang tadinya rame banget sampe sepi banget. Meja di sekitar kita aja kayaknya udah berganti 3 pelanggan sampe kosong. Tiga jam itu ya ngabisin si dua porsi sushi tadi, sambil ngobrol-ngobrol ke sana kemari, sambil foto-foto narsis. Mbaknya aja udah ganti shift. Nah, giliran bayar, elu musti siap-siap jantung nih. Jangan sampai melorot ke kaki. Mwahahaha... Tentu juga, selain menyiapkan jantung, elu juga mesti menyiapkan dompet ya, yah minimal nyiapin kartu lah, karena kalau nyiapin jantung doang mah, bisa-bisa elu berakhir di dishwasher room..... 

Anyway, teman gue nggak enak ngeliat nominal bill nya. Dan maksa bayar setengahnya. Yeeeeh... kalau gitu mah, dimana letak nraktirnya, ya nggak ? Itu sih sama aja makan bareng bayar sendiri-sendiri. Nggak seru ah.... Apa gunanya gue kerja keras banting otak di tengah hutan sono kalau nggak bisa nraktir teman makan siang, ya nggak, ya nggak ? Tapi demi menghormati aspirasi si teman, ya udahlah, gue terima aja lembaran biru-biru dari dia, daripada ditontonin orang satu resto....

So, that’s it! Pengalaman pertama gue makan Sushi Tei.
*Gue pernah makanan Jepang sebelumnya, tapi yang model shabu-shabu, yakiniku dan sejenisnya itu. Yang jenis sushi dan mie Jepang memang baru kali itu nyobain. Kalau dipikir-pikir, makanan Jepang itu sehat-sehat yaaaa....

Disclaimer : 
Tulisan ini bukan promo Sushi Tei, bukan review juga. Kebetulan aja kita makannya hari itu di Sushi Tei karena gue kepengen. Kalau di FX (eh, atau EX yak?) nggak ada Sushi Tei dan kita masuk ke.. yah, misalnya RM Wong Solo,  ya pasti itu kata Sushi Tei diganti RM Wong Solo semua (dan nggak pake acara jantung-melorot-ke-kaki).:D

Annual Leaves – Day #8 : This is Jakarta, Man!


Memulai hari dengan mengejar Metro Mini 74 yang gak mau benar-benar berhenti waktu kita naik. Geez...

Tujuan hari ini adalah Monas, Ma Meeeen....

Sepupu gue enggak habis pikir kenapa gue mau nginjakkin kaki ke Monas. Dia bilang, terakhir kali dia ke Monas waktu SD... Hmmm ya, setelah itu dia ralat sih, terakhir kali dia ke Monas untuk melihat Monas waktu SD. Karena sebenarnya terakhir kali dia ke Monas beberapa bulan lalu. Tapi untuk liputan.

Yayaya... Gue bilang aja, gue kan turis. Turis itu ya tujuannya ke tempat-tempat ikonik. Dan tempat ikonik di Jakarta adalah Monas. Dan mall-mallnya sih sebenarnya. Ha. Ha.  

Jadi, karena Monas searah dengan kantornya, kita naik bus bareng. Pertama ya Metro Mini 74 tadi, lalu ganti ke Busway Jalur 1.

Naik Busway Jalur 1 itu seperti ngulangin lagi langkah gue hampir  5 tahun lalu di sini. Waktu gue luntang-lantung nyari kerjaan. Seminggu bisa tes kerjaan sampe 3 kali. Mulai dari Bank DKI, Trans Corp,sampai perusahaan tak dikenal pada saat itu yang beberapa bulan lalu jadi terkenal sebab  masuk TV karena diduga terkait kasus yang diperiksa KPK. Geeezzz....

Anyway. Jakarta masih aja rame *yaeyalaaahhh* Dan bus-bus itu masih saja penuh. Andai saja jalan-jalan kita tertata rapi, moda transportasi teratur dan terjadwal, banyak alternatif pilihan transportasi umum yang terjangkau, rasa-rasanya Jakarta ini pasti lebih asyik dijalani.

Jangan salah. Jakarta yang sekarang juga asyik dijalani. You know, dengan segala keributannya, umpel-umpelannya, panasnya dan ketidakteraturannya. Itu ikonik. Tapi boleh dong berandai-andai dan melihat visi dalam kepala gue ? Bahwa keributannya itu menjadi keributan yang produktif. Umpel-umpelannya itu menjadi satu baris antrian yang rapi. Tidak perlu takut tidak terangkut, karena toh transportasinya punya daya angkut yang cukup. Panasnya adalah panas negeri tropis yang eksotis, bukan panas dari asap kendaraan yang membuat polusi udara. Dan ketidakteraturannya itu tidak ada lagi. Nah, lebih asyik kan ? Turis-turis seperti gue ini bisa jalan kaki dengan nyaman menyusuri jalan-jalan Jakarta. Tas bisa diselempangkan dengan aman, dan jalan dengan santai, bukannya deg-degan penuh kewaspadaan sambil mencengkeram tas erat-erat asupaya tidak jadi korban kejahatan.

Senang ya ? Hayo, kapan kira-kira hal itu bisa terwujud ? Yang pasti, hal itu harus dimulai dari sekarang, wahai para pemuda! Negeri ini masa depannya ada di tangan kita loh. Kitalah yang 20-30 tahun lagi yang akan memegang itu jabatan-jabatan atas itu. Kalau dari sekarang kamu malas-malasan dan tidak punya visi, mau jadi apa negeri ini ke depannya ? Yang ada ya seperti sekarang. Karena generasi yang sekarang waktu mudanya tidak dipersiapkan jadi pemimpin yang visioner. Kenapa ? Karena terlalu terlena diatur oleh penguasa. Yang penting beras swasembada...

Anyway. Akhirnya gue sampai di Monas. Setelah muter-muter 2 jam di Mall dengan tujuan cari makan. Dan pilihan makan siang gue yang katro ini adalah....
jeng jeng jeng jeng #SFX.... 
.....
.....KFC. 
.....
I know. I know. 
Menyedihkan gak sih, jauh-jauh ke Jakarta yang gue makan adalah KFC yang dimana-mana juga ada. Coba pilihannya ketoprak kek, apa kek, gitu yang cuma ada di Jakarta. Iya kan ? Tapi enggak. Setelah muter-muter dari hutan ke ibukota ini yang gue makan adalah KFC. Sungguh pilihan yang parah anehnya! Tapi begitulah. Gue ini tipe orang yang gak terlalu memusingkan banyak hal. Gue datang ke mall. Gue lihat KFC. Gue makan KFC. That simple, People! :D

Trus, karena gue sampe di Monasnya udah jam setengah satu, matahari lagi giat-giatnya mancarin sinar tuh. Untungnya gue bawa payung. Karena gue pake bus umum, artinya gue mesti jalan kaki dari gerbang ke tugunya. Which is.... lama ya, Sodara-sodara. Ada satu kilometer gak sih jarak tu gerbang dengan tugu??? Lain kali kalo ke sini timingnya mesti diperhatikan. Karena antrian naik ke atas tuh ternyata ruaaaaaammeeeeeee. Dan loket sudah ditutup setengah jam sebelum waktu buka berakhir karena ramainya antrean. Kebanyakan sih yang datang turis asing. Cina, Eropa, Jepang. Gitu-gitulah. Dan tidak, turisnya nggak rame-rame banget sampe umpel-umpelan, tapi antriannya liftnya panjang kayak ular naga.

Akhirnya gue cuma ngider-ngider aja di tugu bawahnya. Museum dioramanya menarik. Gue udah lupa materinya saking lamanya gak ke Monas. Ada juga pemutaran suara Soekarno waktu ngebacain teks Proklamasi – yang omong-omong, direkam BUKAN pada waktu teks itu dibacain di tahun 1945 – Tapi udah gak keburu gue ikutin karena Nyak Gue udah nilpun-nilpun senantiasa. 

Satu hal yang gue syukuri adalah adanya Mas-Mas pedagang air botolan dingin seharga 2 ribu rupiah di luar gerbang tugu. Sebenernya gue pengen bergaya dramatis dengan mengguyurkan air botolan itu ke kepala gue saking panasnya tu hari. Tapi, karena mengingat tempat (bukan di sinetron) dan waktu (gue udah ditunggu Nyak Gue), ya sudahlah, gue akhirnya cukup puas dengan menegak  air botolan itu lewat tenggorokan gue. Gluk. Gluk. Gluk. Nikmaaaaatttt....
*Maafkan kegejean paragraf gue ini   -__-!*

Nah, perjalanan balik ke gerbang depan untuk naik bus umum lagi merupakan perjuangan tersendiri. Gue sebenarnya pengen lari untuk mempersingkat waktu. Tapi gue takut dikejar sama Om Om penjaga Monasnya. You know, banyak polisi yang mangkal di Monas. Karena hari itu ada demo di kantor dekat situ. *Gue lupa demonya menuntut apa* Jadi, kalo gue lari, tentunya gue bakal dicurigain dooooong.... Mana ada orang potongan ibu-ibu kayak gue yang bawa tas tangan gembung penuh peralatan tempur (dompet, tisu, tas kosmetik, botol air, tas ponsel, kamera digital) lari-lari siang hari bolong bawa payung dengan alasan olah raga. Iya kan ??? Jadi gue jalan kaki aja cepet-cepet secepat yang gue mampu sebelum ditelpun lagi sama Nyak dan sepupu gue. 

Walhasil, keringet ngucur kayak keran bocor aja dari dahi dan punggung gue. Sampe di gerbang depan gue udah basah kuyup. Dan tidak, perjuangan tidak berhenti sampe di situ dooong. Karena gue kan harus jalan lagi sampe ke halte busway. Nggak jauh sih. Cuma ya itu, panas. Gue udah jelalatan liat taksi yang bisa diberentiin. Tapi gak nemu juga sampe gue sampe di halte busnya. Akhirnya gue ikutan ngantri, turun di halte berikut buat ganti jalur, ngantri lagi, dan turun di GOR Soemantri. Dari situ gue naik taksi sekitar 7 menit doang buat masuk ke TPU Menteng Pulo.
Gue sama sepupu Gue dan para Nyokap mo jiarahin kuburan kakek-nenek gue di sini. 

Dari situ, kita ke Mall Ambasador. Jiiiahhh... teteeeeuuupppp.
Makan sore, cari-cari baju, Bibi gue terbujuk rayu membeli ikat rambut karena rambutnya ditatain kayak pramugari-pramugari di pesawat itu looooooh, sampe akhirnya ngantri taksi lagi buat balik. 

Dari sono, kita balik ke rumah di Bintaro buat packing-packing-packing karena gue dan si Nyak mo ke rumah paman gue di Sawangan. 

Setelah menempuh perjalanan ribet selama satu jam lebih gue akhirnya sampe di rumah paman gue, 
*secara yang nyetir sepupu gue (adeknya sepupu gue yang tadi pagi), Bibi gue ribuuuuuuuutttt aja sepanjang jalan itu ngatur-ngatur cara dia nyetir : pelan, pelan, pelaaaaaan!!! Awas, depan! Kiri, kiri... Tahan! Angkot, tuh. Jaga jarak! Dan seterusnya selama satu jam tanpa berhenti. Gue dengan Nyak Gue udah pandang-pandangan aja. Ni Bibi gue kapan narik napasnya yak, ngomong mulu ? Badan Nyak Gue udah berguncang-guncang nahan ketawa. Tapi ya sudahlah, pada akhirnya gue menarik napas lega banget waktu tu pagar udah keliatan aja di depan mata *

Di rumah paman gue, gue (dan anak-anaknya dia) tentunya dapat wejangan dooooong. Judulnya “Kapan?”. If you know what I mean. Wejangan macam begini kayaknya juga udah jadi makanan wajib setiap hari raya waktu kita ketemu keluarga besar kita. Kalau gue baca status FB teman-teman gue pas hari raya sih, begitu. T__T.

Di rumah paman gue, gue cuma bertahan dua jam. Waktu anak-anaknya pamit balik ke rumah mereka (anak-anaknya gak tinggal sama dia), gueikutan pamit. Paman gue tampangnya sempet shock, karena gue gak ngingep, tapi dianya langsung coolling down. Ya kan, artinya gue deket dengan sepupu-sepupu gue dong (which is anak-anaknya dia juga). Dan lagian, bukan belagu bukan sombong, tapi gue udah punya list schedule padat yang udah gue atur dari jauh hari. Cieeeeh... :D

Sisa malam itu gue abisin ngobrol dengan sepupu gue. Terakhir kali gue ke sini, gue muntah-muntah karena masuk angin, jadi ngobrol dalam keadaan lemas. Sekarang, gue baik-baik aja. Tapi dalam fase I dont care too much. Jadi gue ngobrol, topiknya tentunya tentang keluarga gue, tapi objek dari obrolan gue itu nggak gue masukin ke hati, karena hey, I dont care too much! Kita ngobrol sampe jam 4 pagi. Itupun gara-gara dia nerima telpon entah dari siapa dan permisi terima telpon, lalu gue rebahin kepala ke bantal kursi lalu sedetik kemudian everything was shut down around me

Sepupu gue ngebangunin gue buat pindah ke tempat tidurnya dia. Dan enggak, dia nggak cukup gentle untuk “lo tidur di ranjang, gue tidur di kursi”. Tapi dia juga nggak cukup tega untuk “nih gue sediain bantal dan selimut buat lo, lo tidur di kursi”. Kursinya sih lebar dan empuk-empuk aja buat ditidurin sebenarnya dan berada tepat di samping tempat tidurnya. Tapi dia cuma “lo tidur di kanan ya, gue biasanya di kiri”, ngasih bantal, matiin lampu dan narik selimut. Gue balik badan dan terlelap lagi. 

Terakhir kali gue ke sini, karena gue sakit, dia ngasih satu tempat tidur itu buat gue. Dianya tidur di kursi. Sekarang, karena gue nggak sakit, ya mesti berbagi. Ha ha.

Sepupu gue, cowok, setahun di atas gue.
Dan gue curiga dia masih mengidap Peter Pan Syndrome*.

*Bukaaaaaaann. Bukan Peter Pan yang grup band yak.... Ini Peter Pan yang temannya Wendy. Yang mengejar bayangannya sampai ke kota London. The second star to the right and straight on till morning. Yang itu loh. Got it ?