Sepotong Rindu Dalam Egoku


Lirik Denting-nya Melly Goeslaw adalah sangat tepat untuk jadi background music suasana hati saya saat ini :
Sayang, kau dimana ?
Aku ingin bersama.
Aku butuh semu untuk tepiskan rindu
Mungkinkah kau di sana merasa yang sama ?
Seperti dinginku di malam ini L
Rintik gerimis mengundang kekasih di malam ini
Kita menari dalam rindu yang indah
Sepi kurasa hatiku saat ini, oh Sayangku
Jika kau di sini aku tenang.

Iya. Dia akan bilang : Elo sinetron banget sih yak... Dan saya akan menangkis : Gue kan romantis...
Malah  tepatnya, saya dramatis-romantis-melankolis...
Sebut saja begitu. Saya rindu waktu-waktu yang saya habiskan dengannya. Kala itu, jam dinding bukanlah penunjuk waktu. Dia hanya pajangan...

Saya rindu pada debat-debat gak mutu yang saya lancarkan dengannya. Saya rindu pada kejengkelannya kalau sudah mati langkah menghadapi saya. Saat itu, dia akan bilang : Elu gimana siiih?? *jitak dikit (kalau tingkat kejengkelannya level satu) atau *jitak bolak-balik (kalau tingkat kejengkelannya level tujuh) atau *jeweeeeeerrrr (kalau tingkat kejengkelannya level sembilan). Ha ha. Sungguh, saya rindu saat-saat itu.

Iya. Saat ini saya lagi sakaw. Sakaw untuk mengulangi suasana saat saya bersama dia. Sakaw untuk mendengar kalimat-kalimat gejenya. Sakaw untuk kembali ke jam-jam panjang yang lewat diantara tawa, ngambek, jitakan dan rasa sayang yang semakin dalam.

Persis seperti perokok yang ingin berhenti merokok sedang merindukan nikotinnya.

Kata orang, waktu itu menyembuhkan. Saya enggak percaya. Seiring dengan waktu, apa yang kita rasakan sekarang memang memudar. Seolah-olah hilang. Padahal sebenarnya enggak.
Rasa itu hanya pudar. 

Dan kalau beruntung, mudah-mudahan tak berbekas. 

Tapi apakah yang memudarkannya waktu ? Bukan. Sel-sel kitalah yang melakukannya. Kalau luka fisik, ya sel-sel di jaringan tubuh kita yang menyembuhkannya. Kalau luka hati, ya sel-sel kelabu di otak kita yang akan menyimpannya jauh-jauh di dalam tempat yang paling tersembunyi di antara sekian banyak simpul saraf “kenangan”nya. Supaya kita tidak lagi terlalu merasa semasygul* sekarang.

Saya rindu dia saat ini. Sungguh.

Dan saya tahu akan melupakan ini suatu saat nanti.


*Iyeee.... ABG alay sekarang menyebutnya : galau T_T.

Salah, Salah, Salah

Semua orang pernah berbuat salah. Siapa pun. Gak perduli dia orang paling berkuasa, atau pengemis jalanan yang paling terlunta. Semua, semua, semua pernah berbuat kekeliruan dalam hidupnya. Sekali, seratus kali, seribu kali. Bener kan ?
Kadar kesalahan itu tentu besar dan kecil. Impact-nya pun beraneka ragam. Mungkin hanya berakibat ringan, dua menit berlalu. Mungkin berakibat fatal, harus ditanggung seumur hidup. Apapun akibatnya, itu pastinya akan menjadi goresan dalam lembar sejarah hidup kita. Jangan letih dulu, goresan itu memang kita perlukan untuk membentuk kita sebagaimana adanya sekarang.
Katanya, kesalahan itu guru yang paling berharga. Ia mengajarkan kita tentang kerasnya kehidupan. Ia mengajar kita tentang konsekuensi. Ia mengajar kita tentang sebuah kebenaran. Hebat ya ? Tidak hanya kesalahan yang kita buat sendiri loh, kita juga bisa kok belajar dari kesalahan orang lain. Kalau ini kita lakukan, setidaknya kita tidak perlu merasakan sakit dan pahitnya kesalahan itu.
Kesalahan itu juga menghantui. Ia seperti datang dan datang lagi. Mengejekmu yang sudah terjatuh disandungnya. Berkeras mengatakan : tidak, tidak, tidak, kau tidak akan mampu melampuiku. Kau toh sudah jatuh... Pernah merasakan itu di kepalamu ?
Saya dan kamu pernah berbuat salah. Itu manusiawi. Pertanyaannya sekarang, sanggupkah kamu berbalik darinya, untuk di kemudian hari melupakannya ? Tentu saja melupakan itu termasuk tidak melakukannya lagi. Kalau kamu bisa melakukannya, niscaya kamu pasti jadi orang yang jauh, jauh, jauh lebih baik dari kamu yang kemarin.  Setuju ?
Nah, selamat  menjalani hidup, katakan “tidak!” pada rayuan si salah!

Kemana Perginya Waktu

Kemana perginya waktu ?
Duhai, kau yang tak mau tahu
Kemana perginya kisah itu ?
Aku ingin tahu.

Katakan pada sang waktu
Jangan pergi dulu
Aku ingin melulu
Berada dekat denganmu

Duhai, kekasihku,
Tetaplah di sampingku
Jangan pedulikan waktu
Dan bawalah hatiku

Tapi waktu tetaplah waktu
Yang berdetak tanpa malu
Dan ia tak mau tahu
Tentang ini dan itu

Kemana perginya waktu ?
Aku ingin tahu.
Dan kisah tentang kasihku
Akhirnya pun berlalu.

Harry Potter dan Mbak-Mbak Sok Tau


Iya. Saya memang makhluk telat dan jadul. Setelah keluar lebih dari 2 tahun, bahkan filmnya juga udah keluar dua-duanya, saya baru membaca jilid ketujuh Harry Potter .... kemarin T_T.

Jadi  waktu itu saya nggak sengaja ke Mal Pekanbaru. Kenapa saya bilang nggak sengaja ? Ya karena emang beneran nggak sengaja #mulai geje deh kamyuuu... 

Gini. Jadwal free time saya di Sabtu dan Minggu -- waktu saya d i s u r u h ditugasi sama bos saya untuk berangkat ke brohter-company di Riau – salah satunya adalah ke Mal Ciputra buat nonton di 21. (Yeah, di hutan emang nggak ada bioskop, biasanya kita nonton layar tancep, makanya jauh-jauh ke Riau buat masuk 21..... #menebarkan isu. Hee...) Tapi karena satu dan lain hal, kami jadi mampir ke Mal Pekanbaru dulu.
Naaah... di sana tentunya tak lain dan tak bukan tongkrongan wajib ya Gramedia. Setelah muter-muterin raknya, di ujung penantian saya rak dekat kasir, ada tempat dengan tanda
Discount 70%
Di sanalah saya menemukan edisi hardcover Harry Potter yang memanggil-manggil saya dengan iming-iming 260.000IDR coret, jadi hanya tinggal 78.000IDR doang. Okeee... mungkin enggak "doang" ya. Mungkin itu cukup untuk makan sekeluarga sederhana sehari. Atau bisa bayar jatah transport seminggu setengah untuk seorang mbak mbak kantoran, mungkin ? Dan belum lagi saya harus menggotong-gotong tu buku yang setebal 700-an halaman ada kali, dari satu pulau ke pulau yang lain, ke pulau yang lainnya lagi, lantaran tidak ada direct flight. Tapi kan... Tapi kan....

Setelah muterin stand discount itu sekitar sepuluh kali *lebay*, akhirnya saya mengangkat buku itu dan membolak-baliknya *secara harfiah*. Terus terang saja, kali terakhir saya membaca Harry Potter sekitar tahun 2005 (atau 2006 ?), yang saya sendiri harus ingat-ingat lagi itu jilid keberapa ?
*KEENAM, dimana Dumbledorenya mati secara mengejutkan. Yang terus terang saja, sampai halaman terakhir juga saya masih belum yakin Dumbledorenya mati BENERAN #eaaa... curhat*
Berarti yang belum saya baca tinggal jilid tujuh. Nah, INI JILID BERAPA ? Mulut saya komat kamit ngomong sendiri. Yang keenam itu judulnya apa sih ? Eh, bentar. Yang saya baca terakhir itu jilid lima apa jilid enam yaaa?? *Mulai nggak yakin*

Akhirnya, saya nanya ke Mbak kasirnya...
Saya                       : Mbak, ini Harry Poter yang keberapa ya ?
Mbaknya                : Tujuh puluh ribu. (dengan yakin banget)
Saya                       : *bengong*

Ternyata maksud si Mbak harganya jadi 70.000-an IDR. Sok tau nih si Mbak. 
Secara si Mbaknya juga nggak tau itu jilid berapa, dia nanya ke temannya lagi. 
Mbaknya               : Ini jilid berapa ?
Temannya             : Eee... KESEMBILAN!! (dengan yakin juga)
Saya                      : *menatap dengan mata selebar piring kayak Dobby si peri rumah*

Karena ternyata Mbak-Mbak itu pada nggak membantu, akhirnya saya membalik lagi buku itu dan ternyata Sodara-sodara sebangsa setanah air, di sampul belakangnya ada tulisan yang luput dari pengamatan saya :
KAMI MEMPERSEMBAHKAN HARRY POTTER -7
EPISODE TERAKHIR
...
...
...
Ya sudahlah. Mari kita lupakan saja kebodohan saya serta Mbak Kasir dan temannya itu....