Annual Leaves : Hari Ke-2 – Don’t Try This At Home, Kids!

Jadi, karena waktu antara jam 15.00 dan jam 18.00 itu cukup lama T_T, saya dan adik saya yang memegang setir memutuskan untuk cari makan aja gitu di luar bandara. Pilihan sekali lagi jatuh pada Nasi Akwang. Kebetulan rumah makan ini buka jalan di cabang menuju bandara. Sambil menuju ke sana, saya telpon Ibu saya yang saat itu sedang berada di salah satu pesta kawin saudara sesuku T_T.
Note :  Percakapan berikut sudah didramatisir. Tidak ada pihak yang dirugikan dalam percakapan ini.... pada akhirnya.
Saya       : Ibuuuuu !!! (dengan intonasi seolah-olah lama tidak bertemu)
Ibu         : Eh, Nak... Udah mau naik pesawat kah ?
Saya       : Ini di mobil (benar). Ketinggalan pesawat.... (tidak benar).
Ibu         : Apaaaaaa?????? Kok bisaaaaa ???? (dengan rentang nada satu oktaf)
Saya       : .....
Ibu        :  Kan sudah dibilangin bla bla bla (mengulangi pesan-pesan yang tadi diucapkannya   sebelum berangkat kondangan, antara lain packing yang cepat, jangan lupa beli oleh-oleh, jangan terlalu siang berangkatnya, JANGAN SAMPAI TERLAMBAT, malu....*egh, masih nggak ngerti kenapa “malu” dimasukkan sebagai akibat dari terlambat. Terlambat emang banyak ruginya. Tapi bagi saya, malu bukanlah salah satunya*)
Saya       : ....
Ibu         : Ya sudahlah, kamu tenang dulu (keknya dari tadi yang panik bukan saya deh, Bu :D )... cepat kamu hubungi maskapainya dan bla bla bla (memberikan solusi-solusi yang menurut saya sih, kalau dijalankan nggak akan jadi solusi juga T_T)
Saya       : Iya... Ya udah ya Bu (dengan nada memelas)
*menutup telpon dan....
Tertawa.
Adik saya langsung melotot.
“Ko ni Kak. Sedang sedang gak kalau becande tu. Itu si Mak lagi di tengah orang banyak. Sempat die cerite ke orang kiri kanannye, heboh orang sekampung nanti! Macam ko ndak tau jak orang kite tu. Ade ade nanti ade yang nelpon travel lah, maskapai lah, ngubungin kenalannya sana sineklah... bikin kalot jak”, katanya dengan logat lokal yang kental.
(Yep, that’s the result of assimilation, People. Don’t bring up the phrase such as Putra Daerah anymore. We all who were born, stay, love and dedicate to this land ARE Putra Daerah!)
Saya mikir dua detik dan langsung menekan tombol redial di Scotia saya.
Ibu         : Kenapa, Nak ? Udah hubungi maskapainya ?
(dengan nada khawatir. Ah, kasih Ibu memang sepanjang jalan ....)
Saya       : He he he... Bohong kok tadi Buuuuu.... pesawatnya delay ajaaaa... he he he.
Ibu         : Ya ampuuuuunnnn....... kamuuuuuuu.... Ibu udah cemas sekali tadi,  sampai jantungan, tau!
(Iyaaa... Ibu saya emang hiperbolis  kadang-kadang, dan “jantungan” adalah kata favoritnya T_T Tentunya dia tidak beneran jantungan. Tapi, sejak saya kecil, kata ini memang digunakan di keluarga saya untuk menggantikan kata “terkejut baget banget, nget” )
Saya       : Hehehe... *cengar cengir geje* Maaaaaapppp....(Bad, baaaad me.)
Ibu         : Ibu kira beneran. Untung Ibu belum bilang ke orang-orang...
Geezzz. Adik saya benar-benar mengenal Ibu saya sampai bisa memprediksi reaksinya dengan sangat tepat!
*to be continued*

Annual Leaves : Hari Ke-2 – Balada Jam Karet (bag 1)

Sampai di rumah esok paginya, saya langsung packing untuk 9 hari ke depan. Eh, enggak ding, to be honest, saya tidur dulu. He he he. Ngantuk gitu.
Setelah tidur 2-3 jam, saya mulai start packing, dan panik beli oleh-oleh titipan sodara. Untuk teman-teman yang nantinya saya temui, mereka kebagian permintaan maaf aja, karena nggak sempat nyari oleh-oleh lagi karena waktunya udah mepet banget T__T. Benar saja, jadwal pesawat saya pukul 15.00, pukul 14.30 saya masih terjebak macet (jeeez...!!) yang tidak pernah-pernahnya sepanjang itu. Paniiiiiiiiiikkkkkk... saya mulai mengeluarkan tiket dan menggenggamnya kuat-kuat.
Sambil berdoa sepanjang jalan semoga ada keajaiban entah apa lah yang bisa membuat saya masuk ke pesawat sebelum pesawatnya take off (yaeyalaaa ya... masa sesudahnya ???), Katana ibu dipaksa lari sampai 70 km/jam. Saya nggak tahu berapa kecepatan normal Katana. Tapi seingat saya, mobil kami belum pernah dihela sekencang itu terus-terusan. Walaupun begitu, lah kok ya, mobil-mobil lain masih saja melewati kami dengan santainya.... T__T
Sesampainya di Bandara, saya langsung lari-lari dengan heboh membawa tas koper geret, bungkusan oleh-oleh dan tas sandang yang terlempar-lempar dari bahu setiap kali saya melangkah. Sambil tolah toleh panik karena nggak tau dimana letak counter maskapai saya, tas geret saya nggak sengaja  terbanting dengan keras ke lantai, membuat semua kepala dalam radius 50 meter menoleh (tentunya saya cuekin dong ya... habis mo saya gimanain lagi ? Masa mo saya salamin ?? Memangnya radio ? He... *kriuk) Hadoooo... ribet deh kamyuuuu tas....
Counter check in maskapai saya itu ternyata berada paling ujung, mepet dinding. Nggak jauh sih, secara bandara kota saya itu nggak terlalu besar juga. Jadi, dengan lari-lari kecil saya menggeret semua barang bawaaan sambil pasang tampang sememelas mungkin karena tu counter sudah kelihatan sepi. Jam dinding digital di atasnya menunjukkan angka 14.45.
Yang jaga Mas-Mas. Dan saya disambut dengan pertanyaan : “Kok lari-lari, Mbak?” yang sebenarnya pengen banget saya bales dengan “Iya nih Mas, lagi olah raga, iseng-iseng sampe ke bandara, siapa tahu ketemu pilot cakep....” tapi tentu saja sebagaimana manusia normal lainnya yang lagi butuh bantuan dan dalam keadaan kejepit, saya tersenyum sopan dan menjawab (ingat! Tetap dengan tampang memelas), “Maaf Pak, saya telat ya ? Pesawat ke Yogya ....”
Dan demikian, Sodara-sodara, tau apa jawabannya Mas-mas itu ?
“Loh.... Mbak belum dikasih tahu ? Pesawat kita DELAY....”
#%$&@#T@$(*%(*&@$@Y%$*!!!!!!!!!!
Jahhh... jadi apa dong artinya kami ngebut dengan Katana tua, degdegan geje dan keringat dingin sepanjang jalan ?
Memang sepanjang siang ada telpon masuk ke ponsel Ibu saya yang lagi di-charge. Dari nomor yang sama, nomor rumah, dan terus menerus pula. Tapi karena Ibu saya sedang keluar, ya saya nggak angkat. Agak-agaknya, itulah yang menyebabkan saya tidak mendapat informasi perubahan jadwal dari pukul 15.00 ke pukul 18.00....

Annual Leaves : H-1, Aaaarrrghhhh.....

Jadi saya mengambil cuti bulan ini. Delapan hari kerja. Yippiiiee....

Rencananya adalah saya akan menghadiri sebuah reuni di Malang sana, terus melipir ke Bandung dan Jakarta, lalu kembali pulang.

Nah, karena saya kerja di dalam hutan yang jauh mau ke mana-mana, jauh-jauh hari saya sudah mereka-reka rencana jadwal keberangkatan saya. Tau kan, seperti : alat transpotasi APA yang bisa saya gunakan, KAPAN saya bisa meninggalkan kantor, SIAPA yang bisa saya tebengi.... (Hahaha... teteeuuupp)

Hari pertama cuti jatuh tanggal 8.
Tanggal 7 saya masih menjadwalkan kerja dan pulang lebih cepat. If lucky, I can catch the travel. Jika tidak, masih ada cadangan bus yang berangkat jam 7 malam. Sip. Rencana sudah matang.

Eh lah kok ya di awal bulan tiba-tiba si Bos memutuskan untuk berkunjung inspeksi pada tanggal 7... Okelah, ternyata dia juga menjadwalkan pulang tanggal 7 siang. Sip. Mantap. Rencana semakin matang. Karena alih-alih menggunakan motor seperti rencana semula, saya bisa nebeng si Bos sampai ke pool travel atau bus (masih gambling aja mo pake yang mana...)

Tanggal 7 pagi yang harusnya si Bos sudah do something, dianya masih nunggu entah apa. O'ow. Not looking good, Bos! Walhasil, jam 2 aja dia baru ngajak meeting T__T . Mana meetingnya berlangsung alot lagi. Saya yang semula masih tenang-tenang mulai resah dan gelisah ketika jam menunjukkan pukul 4 (ini adalah jadwal travel berangkat) dan peserta meeting masih semangat aja berbicara. Tidaaaaakkkkkk.....*pengen menarik-narik rambut tapi masih bisa menahan diri* Finally, meeting berakhir pukul 5, itupun karena OB datang untuk mematikan listrik.....

Menyiapkan rencana cadangan, saya menelpon agen bus, hanya untuk diberi tahu bahwa semua kursi sudah terbooking..... Tapi, kata bapak penjual tiketnya, coba saja telepon lagi nanti, siapa tahu ada yang batal.... Sungguh Bapak yang optimis sekali penjual tiket itu !

Dengan agak kalut, saya menyiapkan cadangan rencana-cadangan : mencegat bus di tengah jalan. Yupe, itu mungkin dilakukan, karena kalau saya ikut si Bos sampai ke tempat kunjungan keduanya, ada bus dari kota lain juga yang melewati tempat itu.

Berangkatlah kami tepat pukul setengah enam sore. Jarak tempuh ke pool bus yang penuh terbooking itu kurang lebih 90 menit, tergantung gaya drivernya membawa kendaraan. Si driver yang mencoba bertanya-tanya ke saya (yang senewen dengan sisa waktu yang saya punya) berupaya mengejar pukul 7 untuk tiba di pool bus itu. Eeeeh... kok ya di tengah jalan kami menemukan kendaraan amblas yang mau tidak mau terpaksa dibantu.... Nampaknya cadangan rencana-cadangan saya bakal jadi satu-satunya alternatif nih... Ya sudahlah, saya sudah mulai pasrah terpental-pental di bangku belakang bersama setumpuk tas (punya Bos) di samping saya dan dua buntel dokumen di pangkuan.... Mana kepala berdentam-dentam lagi (campuran stress, kurang tidur dan kurang makan...)

Tiba di kota, (eh, saya udah bilang belum ya, kalau kantor saya itu bukan di kota ?) sudah hampir setengah delapan malam. Udah yakin aja kalau tu bus udah berangkat. Begitu lewat di poolnya, heiya, busnya masih ada ! Dua lagi ! Saya buru-buru minta berhenti dan langsung melesat menuju loket. Bapak Optimis yang sedang sibuk itu meminta menunggu untuk dia muter2in penumpang yang udah booking. And voila, there's a place for me walopun cuma bangku cadangan di samping supir....

Mengambil tas ransel dan mengucapkan selamat tinggal pada si Bos, saya naik ke bus dengan tampang sumringah. Ehhhhh lah kok ya kursi saya ditempati orang ... T__T. Bapak-Bapak yang cukup tega membuat seorang perempuan seukuran ibu hamil berdiri ! *Lo kira ini bus kota Pak ? Jaraknya deket pan. Ini bus antarkota dalam provinsi!!! Lo ngarepin gue berdiri selama 12 jam ???? kata si hitam dalam hati gue. Tapi si putih, sisa-sisa jaman kuliah, yang lebih lembut pribadinya, berbisik : Kalem Bu, kalem... Tuhan kita tidak tidur... (sambil membatin, Iya kan God ? Dirimu nggak tidur kan ???? Help meeeee... *nangis bombay*)

Selagi berperang batin sambil mengunyah-ngunyah permen karet penyegar napas dengan senewen dan memainkan Samsung Wave 525 saya untuk update status sambil berdiri (sempat-sempatnya!), si Bapak Optimis naik ke bus untuk menghitung penumpang. Dan you know what, dia meminta Bapak yang menempati kursi saya pindah ke kursi co-driver (itu loh, kursi kecil tanpa sandaran yang ada di dekat pintu masuk). Bapak kan dekat, biar Ibu ini saja yang duduk di situ ya Pak, katanya. Oh, Thank God! Saya punya tempat duduuuukkkk..... *nangis bombay lagi*

Saya duduk di kursi cadangan itu. Lah kok tegak banget ya.... Kaki saya harus ditaruh dimana nih ? Masa iya selama 12 jam duduk tegak siap grak begini ? Mana kaca depan dekat banget lagi.... Ini sih, kalau kejadian yang melibatkan kaca depan, saya bakal kena duluan nih... Eh selagi saya masih terbengong-bengong (sambil mikirin cara untuk bisa tidur), co-drivernya menawari saya bangku belakang. Bangku belakang itu ada 5, bukan recycle, dan sudah terisi 4. Satu orang tidak datang, tampaknya, sehingga bangku itu kosong. Dan lah kok ya yang tidak terisi itu bangku yang pinggir dekat jendela.... Ya ampuuuuunnnnn.... Baik banget sih Engkau, Tuhan.

Nggak ngerti kenapa orang di sebelah saya tidak bergeser saja ke sebelah jendela. Tau kan, dengan begitu bisa bersandar sepanjang malam. Tapi dia malah mengambil bangku tengah dan meninggalkan bangku jendela itu untuk saya. Huhuy... Duduklah saya di sana dengan penuh rasa syukur, mencoba-coba berbagai posisi yang enak, termasuk menaikkan kaki saya ke atas palang pembatas supaya tidak perlu melorot ke depan setiap kali sopir bus mengerem mendadak... Plus, mencegah bengkak kaki akibat tergantung selama 12 jam :) Bangku belakang lebih empuk dari bangku samping sopir. Dan berdempetan dengan penumpang sebelah, membuat saya lebih hangat. Ditambah lagi, dia seorang perempuan langsing, sehingga space saya tidak terjajah.... :D

Bus melaju di kepekatan malam. Dan saya pun memulai petualangan saya!



Bis yang saya tumpangi malam itu